Hukum Merayakan Maulid Nabi Menurut 4 Mazhab
Saat ini umat Islam sedang berada di bulan Rabiul Awal dalam kalender hijriah. Pada bulan ini, manusia paling mulia Nabi Muhammad saw dilahirkan, tepat pada 12 Rabiul Awwal tahun 570 M di Makkah. Sebagai rasa cinta dan mengagungkan kelahiran sang Rasulullah, umat Islam di berbagai daerah di Indonesia selalu merayakan seraya bershalawat.
Adapun perayaan maulid atau kelahiran nabi digelar dengan berbagai cara dan tradisi. Misalnya, Muludhen di Madura, Bungo Lado di Minang, Kirab Ampyang di Kudus, Gunungan di Jombang, Panjang Mulud di Banten dan sebagian masyarakat lain menggunakan tradisi Grebeg Maulud.
Lalu seperti apa hukum merayakan Maulid Nabi tersebut, dilansir dari NU Online, para ulama berbeda pendapat tentang hukum permasalahan ini. Pertama, mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menegaskan bahwa peringatan maulid diperbolehkan, bahkan disunnahkan.
Berikut ini kutipan pendapat para ulama tersebut. Syekh Ahmad Ibnu Abidin berkata:
اِعْلَمْ أَنَّ مِنَ الْبِدَعِ الْمَحْمُوْدَةِ عَمَلَ الْمَوْلِدِ الشَّرِيْفِ مِنَ الشَّهْرِ الَّذِي وُلِدَ فِيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
Artinya, “Ketahuilah bahwa di antara bid’ah-bid’ah yang terpuji adalah melaksanakan maulid Nabi yang mulia pada bulan dilahirkannya Nabi Muhammad shallallahu a’laihi wa’alihi wasallam” (Ahmad Ibnu Abidin, Natsrud Durar Ala Maulidi Ibni Hajar, juz 3, h. 391).
Syekh Ibnul Haj dari mazhab Maliki menyatakan:
فَكَانَ يَجِبُ أَنْ نَزْدَادَ يَوْمَ الْاِثْنَيْنِ الثَّانِي عَشَرَ فِي رَبِيْعِ الْأَوَّلِ مِنَ الْعِبَادَاتِ وَالْخَيْرِ؛ شُكْراً لِلْمَوْلَى عَلَى مَا أَوْلَانَا مِنْ هَذِهِ النِّعَمِ الْعَظِيْمَةِ، وَأَعْظَمُهَا مِيْلَادُ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
Artinya, "Maka wajib bagi kita pada hari Senin tanggal dua belas Rabiul Awwal menambah ibadah dan kebaikan, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas apa yang dianugerahkan kepada kita berupa nikmat-nikmat besar ini, terutama nikmat kelahiran Nabi Muhammad shallallahu a’laihi wa’alihi wasahbihi wasallam". (Ibnul Haj Al-Maliki, Al-Madkhal, juz 1, h. 361).
Imam Jalaluddin Assuyuthi dari mazhab Syafi’i menyebutkan:
هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا؛ لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ، وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالْاِسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ
Artinya, “Ia (peringatan maulid Nabi) merupakan bid’ah hasanah yang pelakunya memperoleh pahala, sebab hal itu sebagai bentuk mengagungkan kemulian Nabi Muhammad shallallahu a’laihi wa’alihi wasahbihi wasallam, dan mengungkapkan rasa bahagia akan kelahiran Nabi mulia”. (Jalaluddin Assuyuthi, Al-Hawi Lilfatawa, juz 1, h. 292).
Syekh Zaini Dahlan juga menyebutkan:
وَمِنْ تَعْظِيْمِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ الْفَرَحُ بِلَيْلَةِ وِلَادَتِهِ، وَقِرَاءَةُ الْمَوْلِدِ
Artinya, "Di antara cara memuliakan Nabi Saw adalah berbahagia di malam kelahirannya, dan membaca maulid." (Zaini Dahlan, Addurarus Saniyyah, h. 190).
Senada dengan para ulama di atas, seorang ulama bermazhab Hanbali, syekh Ibnul Jauzi Al-Hanbali menerangkan:
مِنْ خَوَاصِهِ أَنَّهُ أَمَانٌ فِي ذَلِكَ الْعَامِ وَبُشْرَى عَاجِلَةً بِنَيْلِ الْبُغْيَةِ وَالْمَرَامِ
Artinya, “Di antara keistimewaan peringatan maulid adalah bahwa hal itu (diharapkan) memberikan rasa aman pada tahun itu, dan kabar bahagia akan tercapainya harapan dan tujuan” (Muhammad bin Abdul Baqi Al-Zarqani, Syarhul Allamah Azzarqani Bisyarhil Mawahib Al-Laduniyyah, 262; Usman bin Syatha Al-Bakri, I’anatut Thalibin, juz 3, h. 414).
Kedua, sebagian ulama mazhab Maliki menyatakan, peringatan maulid Nabi Muhammad shallallahu a’laihi wasallam tidak diperbolehkan, karena merupakan bid’ah.
Syekh Tajuddin Al-Fakihani menuturkan:
لَا أَعْلَمُ لِهَذَا الْمَوْلِدِ أَصْلَا فِي كِتَابٍ وَلَا سُنَّةٍ، وَلَا يُنْقَلُ عَمَلُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ عُلَمَاءِ الْأُمَّةِ، الَّذِيْنَ هُمُ الْقُدْوَةُ فِي الدِّيْنِ، الْمُتَمَسِّكُوْنَ بِآثَارِ الْمُتَقَدِّمِيْنَ، بَلْ هُوَ بِدْعَةٌ
Artinya, “Saya tidak mengetahui dalil dari Al-Qur’an dan Hadis tentang peringatan maulid ini, dan tidak pula diceritakan riwayat tentang pelaksanaannya oleh salah satu ulama, di mana para ulama tersebut merupakan tuntunan dalam hal agama, yang senantiasa berpegang teguh pada warisan orang-orang terdahulu. Bahkan peringatan maulid adalah bid’ah” (Tajuddin Al-Fakihani, Al-Mawrid Fi Amalil Maulid, h. 20)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum memperingati maulid Nabi Muhammad Saw. Mayoritas ulama dari Mazhab Empat, meliputi mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali menyatakan bahwa hukum memperingatinya adalah boleh, bahkan sunnah. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki menghukuminya tidak boleh, sebab termasuk bid’ah.
Dari kedua pendapat tersebut, tampaknya pendapat yang memperbolehkan peringatan maulid Nabi merupakan pendapat yang sangat kuat, sebab merupakan pendapat mayoritas ulama dari Empat Mazhab.
Sementara itu, Allah SWT berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya, "Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". (Yunus: 58).
Ibnu Abbas menafsiri kata “fadhlullah” dengan ilmu Allah, dan “rahmatihi” dengan Rasulullah. Artinya, kita diperintahkan untuk berbahagia atas adanya “rahmatihi”, yaitu Rasulullah. Sedangkan, inti dari peringatan maulid Nabi adalah ungkapan bahagia atas kelahiran baginda Rasulullah. Dengan demikian, ayat ini mengisyaratkan disyariatkannya peringatan maulid Nabi Muhammad Saw.
Sedangkan Ibnu Taimiyyah yang selalu menjadi rujukan utama bagi sebagian umat Islam yang selama ini mengharamkan peringatan maulid Nabi, menulis sebagai berikut:
فَتَعْظِيْمُ الْمَوْلِدِ وَاتِّخَاذُهُ مَوْسِماً قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ، وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِ وَتَعْظِيْمِهِ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
Artinya, "Maka memuliakan maulid, dan menjadikannya sebagai kebiasaan merupakan perbuatan yang dilakukan oleh sebagian orang. Dan baginya, pahala yang besar atas hal itu, karena baiknya niat, dan penghormatannya kepada Rasulullah shallallahu a’laihi wa’alihi wasahbihi wasallam," (Ibnu Taymiyyah, Iqtidhaus Shiratil Mustaqim fi Mukhalafati Ashhabil Jahim, juz 1, h. 297).
Demikian uraian tentang hukum memperingati Maulid Nabi menurut 4 mazhab yang disampaikan oleh para ulama masyhur yang memiliki otoritas dalam penyampaian ajaran Islam.