Search

Merasa Ganjil, Sastrawan Pertanyakan Ideologi PDIP Usai Disebut Calonkan Anies di Pilgub Jakarta

JAKARTA, (ERAKINI) - Sastrawan kenamaan, AS Laksana mempertanyakan  ideologi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang disebut-sebut bakal mencalonkan Anies Rasyid Baswedan di  Pilgub Jakarta 2024. 

Penulis yang juga kritikus sastra ini seakan tidak yakin PDIP akan menggandeng Anies Baswedan, mengingat tujuh tahun silam pada Pilgub Jakarta 2017, PDIP benar-benar ‘dihabisi’ oleh kelompok pendukung Anies Baswedan. Bahkan membuat Basuki Tjhaja Purnama (Ahok) masuk penjara karena kasus penistaan agama. 

“Bagaimana mungkin PDIP akan menggendong Anies Baswedan sebagai calon gubernur Jakarta? Apakah ia sehat-sehat saja dengan keputusan ini?,” tanya As Laksana yang ia tulis di akun Facebooknya, Senin (26/8/2024). 

Ia mengatakan, pada Pilgub 2017 silam, Kubu Anies jelas-jelas menggunakan isu dan sentimen keagamaan selama masa kampanye. Hal tersebut dilakukan untuk menggerus popularitas Ahok, yang saat itu persentasenya lebih tinggi dibanding Anies-Sandi. Pola kampanye yang demikian itu, lanjut AS Laksana, tidaklah sejalan dengan ideologi PDIP yang nasionalis. 

Laksana bercerita bahwa setelah polarisasi yang tinggi di Pilgub Jakarta pada 2017, Anies kemudian tampil sebagai pemenang. Namun, di sana terlihat bahwa Pilkada DKI menjadi potret bagaimana agama dijadikan kendaraan politik yang dinilai efektif dan murah, meskipun dampaknya sangat membahayakan. 

“Orang akan bergerak militan, dan bersedia membiayai dirinya sendiri, jika mereka merasa sedang berjuang untuk agama,” ujarnya.  

“Saya berpikir isu penistaan agama oleh Ahok pada waktu itu hanya propaganda politik untuk menurunkan elektabilitasnya, tetapi rupanya diteruskan setelah pilkada berakhir. Anies dilantik sebagai gubernur Jakarta, Ahok dibawa ke pengadilan dan kemudian dipenjara sebagai penista agama,” katanya lagi. 

Dengan latar belakang seperti itu, AS Laksana kembali mempertanyakan, apakah  Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri lupa terhadap nasihat “Jasmerah” yang dicetuskan oleh Soekarno? Apakah pragmatisme politik membuatnya mengkompromikan ideologi?

Ketika PDIP memutuskan mengusung Anies di Pilgub Jakarta, hal ini kata AS Laksana jelas sebagai langkah ganjil, karena sepertinya ideologi antara PDIP dan ceruk pendukung Anies tidak sejalan. 

“Meskipun kita selalu bisa mengatakan bahwa tidak ada yang mustahil di bumi nusantara, seganjil apapun kelihatannya,” ucapnya. 

Ia bukan tidak sepakat dengan PDIP yang disebut akan mendukung Anies. Bagi dia, Anies lebih tepat jika didukung oleh partai yang seidologi dengannya. Sebab ketika partai nasionalis-sekuler mengabaikan faktor-faktor ideologis, di sana akan ada pengkhianatan terhadap nilai-nilai yang mereka pegang.

“Tapi apakah ada yang ideologis dalam perpolitikan Indonesia? Tidak sama sekali. Di bawah naungan oligarki, tidak ada yang ideologis,” tuturnya. 

Bagi dia, saat ini, keputusan-keputusan politik tersebut lebih didominasi oleh pragmatisme daripada komitmen ideologis. Aliansi dibentuk berdasarkan kalkulasi kekuasaan dan kepentingan jangka pendek. 

“Partai-partai, apapun ideologinya, tidak lebih hanyalah kendaraan untuk memenangkan kekuasaan, bukan untuk memperjuangkan visi atau nilai-nilai jangka panjang,” pungkasnya. 

advertisement