Debat perdana yang menampilkan tiga pasangan calon (Paslon) calon gubernur (Cagub) dan calon wakil gubernur (Cawagub) DKI Jakarta pada Minggu malam (6/10/2024), menuai tanggapan beragam publik dari yang pro, kontra hingga no comment.
Di luar berbagai tanggapan tersebut, menarik mencermati debat kandidat dari perspektif teori atau pendekatan populisme. Populisme sendiri secara sederhana, mengacu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat dimaknai sebagai “paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil” (2020).
Populisme acapkali merujuk kepada aktor politik yang mengidentikkan dirinya sebagai sebagai ‘dewa penyelamat’ rakyat dari kekuatan yang menindas, baik kultural maupun struktural.
Selintas atau seolah-olah populisme melulu positif, padahal tidak demikian halnya. Seperti dikritik Jan-Werner Muller dalam karyanya “Menuju Teori Politik Populisme” dan “What is Populism”, populisme adalah bentuk eksklusif dari politik identitas yang cenderung mengancam konsep demokrasi.
Rezim populis, kritis Muller, selalu membenarkan perilakunya sendiri dan mengklaim bahwa mereka sedang mewakili rakyat demi kebaikan bersama. Politik populisme harus dikritik karena membahayakan demokrasi. Maka tepat dengan apa yang pernah dikatakan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), populisme adalah kebalikan dari elitisme.
Dalam pandangan ini, idealisasi adalah pendapat rakyat sebagai satu-satunya kebenaran. Padahal, yang sering dilemparkan sebagai wacana adalah pandangan sang pemimpin. Pandangan seseorang itu, dilontarkan sebagai pendapat rakyat, sedangkan rakyat sendiri tidak tahu menahu tentang hal tersebut.
Terjadilah sebuah manipulasi dalam proyeksi pendapat pemimpin sebagai pendapat rakyat. Siapapun yang berani menentang pendapat pemimpin, dinyatakan sebagai menentang pendapat rakyat. Dengan demikian, elit populis dapat membentuk dua wajah: otentik dan artifisial.
Pada bentuknya yang otentik, elit populis tumbuh secara alamiah dan berproses panjang melalui pembinaan, pengkaderan dan promosi jabatan/karir. Sehingga membentuk jati diri sebagai pemimpin dan pembela rakyat hakiki dari kekuatan yang menindasnya.
Sementara populis artifisial tumbuh atau eksis secara instan melalui berbagai proyek pengkatrolan dan pencitraan, khususnya melalui teknologi multimedia di dunia maya (media virtual), termasuk bisa saja melalui dukungan politik kekerabatan.
Dalam kontek demokrasi elektoral, seperti Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada), debat kandidat menjadi arena dan sekaligus untuk menguji dua jenis populisme tersebut. Selain menjadi parameter tingkat literasi politik masyarakat dalam menilai kualitas dan integritas kandidat. Pada acara debat yang disiarkan oleh tiga televisi swasta, para kandidat berusaha untuk memenangkan simpati rakyat dengan parade wacana.
Meminjam pandangan Fairlogh, wacana bukan sekadar teori, tetapi juga bisa dimaknai praksis sosial guna membentuk interaksi melalui bahasa. Bahasa politik (political language), menurut Harlin Turiah, merupakan instrumen paling lazim dipergunakan para elite politik dan elite birokrasi untuk menyampaikan kepentingan-kepentingan kekuasaan.
Bahasa politik akan bercirikan: pertama, terjadinya politisasi makna atas bahasa-bahasa yang dipergunakannya; kedua, terjadi penghalusan makna, dalam bentuk eufemisme bahasa yang dalam terminologi Mochtar Lubis sebagai sebuah penyempitan makna.
Dalam situasi semacam ini, menurut pendapat AS Hikam, bahasa tidak lagi diartikan sebagai media yang netral dalam berkomunikasi, melainkan sebagai representasi para politisi dalam hubungannya dengan pertarungan.
Melalui narasi dan bahasa populis, menurut tesis Cas Mudde, populisme menjadi ideologi yang menganggap masyarakat pada akhirnya terpisah menjadi dua kelompok yang homogen dan saling bertentangan, 'rakyat yang murni' versus 'elit yang korup', dan yang berpendapat bahwa politik harus menjadi ekspresi dari volonté générale (kehendak umum) rakyat.
Pola Umum Populisme
Jika dikaji secara lebih jauh, retorika populis dalam debat politik yang disampaikan tiga pasangan Cagub dan Cawagub DKI, terdapat beberapa pola umum, yakni: Pertama, dalam menggunakan konsep "rakyat", kaum populis dapat mendorong rasa identitas bersama di antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan memfasilitasi mobilisasi mereka menuju tujuan bersama.
Salah satu cara yang lazim digunakan kaum populis, menurut Cass Mudde adalah menggunakan pemahaman tentang "rakyat" adalah dalam gagasan bahwa "rakyat berdaulat", bahwa dalam negara demokrasi keputusan pemerintah harus berada di tangan rakyat dan bahwa jika mereka diabaikan maka mereka mungkin akan memobilisasi atau memberontak.
Pertama, mudah mengobral janji-janji muluk dan simplifikasi berlebihan. Para kandidat mungkin membuat janji yang mengesankan tetapi tidak realistis, seperti menyelesaikan masalah kemacetan hanya dalam satu periode atau menuntaskan semua permasalahan banjir tanpa menyinggung faktor-faktor teknis seperti infrastruktur dan anggaran. Retorika seperti ini memang menarik simpati rakyat, tetapi sering kali tidak diiringi dengan rencana konkret.
Kedua, menghadirkan 'musuh bersama'. Populisme sering kali menciptakan narasi dimana ada kelompok tertentu yang dianggap sebagai musuh bersama, baik itu elite politik, pihak asing, atau kelompok-kelompok lain yang dianggap sebagai biang keladi masalah. Dalam konteks debat kandidat, narasi ini bisa berupa pengalihan atau melimpahkan kesalahan kepada pihak-pihak lain, seperti gubernur sebelumnya, pemerintah pusat, atau pihak-pihak lain.
Namun untuk debat Cagub perdana Cagub DKI beberapa waktu lalu, para peserta debat cenderung menghindari untuk mengkritisi pihak lain.
Ketiga, menggunakan simbolisme dan citra rakyat. Para calon sering menggunakan simbol-simbol yang mewakili "rakyat kecil" dan mendeklarasikan diri sebagai "suara rakyat". Meskipun merakyat itu penting, tanpa diiringi oleh kebijakan konkret yang dapat benar-benar memperbaiki kehidupan masyarakat, ini tidak lebih dari sekadar permainan citra.
Narasi populisme debater
Kesan populis yang dikemas dalam politik bahasa tersebut sangat kentara disampaikan oleh Ketiga Paslon Cagub dan Cawagub DKI, yakni: Ridwan Kamil-Suswono (Rido/Paslon nomor urut 1), Pramono Anung dan Cawagub Rano Karno (Pramdoel/Nomor urut 3). Kedua paslon yang tampil sebagai debater tersebut diusung oleh partai politik yang memiliki kursi di DPRD DKI.
Sementara di urutan ketiga ditempati Paslon Cagub dan Cawagub DKI Dharma Pongrekun-Kun Wardana (Dharma-Kun) yang mengikuti kontestasi politik di Pilgub DKI 20204 melalui jalur perseorangan. Contoh-contoh populisme yang dikemas dalam bentuk politik bahasa saat debat Cagub dan Cawagub DKI adalah ketika Paslon Cagub dan Cawagub DKI nomor urut 1 mengkampanyekan program Kartu Jakarta Maju (Kamu).
Dengan kartu ajaib tersebut, masyarakat Jakarta akan beroleh minimal 6 kelompok yang akan disasar untuk beroleh layanan yang murah atau bahkan gratis. Seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, keagamaan (pelataran rumah ibadah), sosial (anak yatim), setiap RW di Jakarta mendapat gelontorkan Rp100 hingga Rp 200 juta, dan sebagainya.
Tidak mau kalah dengan Paslon Cagub dan Cawagub nomor urut 1, Paslon nomor urut 3, Pram-Doel melakukan strategi politik bahasa populisme berkampanye dengan menjanjikan akan menggratiskan 15 golongan yang sekarang ini sudah naik Transjakarta gratis, agar juga gratis naik MRT, LRT.
Adapun dari 15 golongan ini antara lain Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemprov DKI, pemilik Kartu Jakarta Pintar, penghuni rumah susun sederhana sewa (rusunawa), dan tim penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Pram-Doel juga menyampaikan janji manis akan menaikkan dua kali lipat insentif bagi RT dan RW menjadi Rp4 juta untuk RT dan Rp5 juta untuk RW.
Sedangkan Paslon No. 3 Dharma-Kun, cenderung lebih irit mengobral janji populisme. Bahkan ia lebih sering menekankan prinsip-prinsip keadilan, transparansi dan keadaban dalam berbagai programnya. Begitupun Pongrekun, tidak luput dari populisme dengan mengumbar janji.
Jika terpilih sebagai Gubernur DKI, penduduk Jakarta tidak boleh ada yang menganggur, dan perutnya harus kenyang. Sementara semua sekolah, pengusaha besar, pengusaha kecil harus tetap jalan. Ia juga berjanji akan menyediakan akses internet gratis dengan kecepatan minimal 100 Mbps di seluruh rumah warga Jakarta.
Pencarian dan Pengelolaan Informasi
Tidak ada yang salah dari wacana, bahasa atau narasi populisme dari para Paslon Cagub dan Cawagub DKI 2024. Tidak ada satupun peraturan perundangan melarang menjual isu populisme dalam kampanye atau debat kandidat.
Hanya saja harus diinsyafi bahwa populisme dalam konteks politik, termasuk saat masa kampanye Pilgub DKI 2024, penuh jebakan. Jika pemilih tidak mampu melakukan analisis kritis terhadap wacana, bahasa atau janji yang disampaikan para kandidat, bisa akan kecewa di belakang hari. Sebab, akhirnya nanti janji hanya sekadar janji. Tidak bisa dilaksanakan oleh sebab janji tersebut diluncurkan hanya demi menaikkan popularitas dan elektabilitas tanpa kajian komprehensif, holistik dan integral, termasuk di dalamnya daya dukung anggaran.
Agar tidak terjebak dengan politik populis yang diekspresikan para kandidat, pemilih Jakarta mesti memiliki kemampuan berpikir kritis (critical thinking) dengan cara memahami apa yang oleh Roland Barthes disebut sebagai makna denotatif (asli atau asal) dengan makna konotatif (makna kiasan) pada wacana, bahasa atau narasi yang disampaikan oleh para debater, serta mampu menggunakan tesis dramaturgi dari Erving Goffman saat debater berada di panggung depan (front stage) dengan panggung belakang.
Secara praktikal, bisa dilakukan dengan melakukan tracking terhadap track record para debater (Cagub dan Cawagub DKI) melalui pencarian mesin informasi di media massa atau online ataupun menggunakan bantuan aplikasi artificial intelligence (AI).
Sedikit banyak informasi atau deskripsi tentang sosok debater akan diperoleh. Apalagi sebagian besar pada debater adalah mantan pejabat publik. Bahkan diantaranya seperti Rano Karno adalah seorang aktor ternama. Termasuk informasi mengenai kinerja para debater saat bekerja di institusi/instansi masing-masing.
Agar diperoleh data yang valid dan reliabel, perlu uji, diverifikasi, dikroscek dengan realitas objektif dari para debater. Antara lain kawan sekerja atau seprofesinya, lingkungan terdekat atau tetangga dekat sekitar rumah para debater, dan sebagainya.
Dengan langkah demikian, maka jebakan populisme yang sengaja (by design) atau tidak disengaja (by accidental) yang dilakukan oleh para Cagub dan Cawagub DKI saat debat publik beberapa hari lalu, dapat dikelola, dihindari dan diminimalisir.
Sehingga masyarakat Jakarta saat menentukan pilihannya di Pilgub DKI pada Rabu 27 November 2024, akan beroleh Cagub dan Cawagub DKI yang tingkat integritasnya (seiya-sekata) paling mumpuni.
Hal ini harus dilakukan, karena Jakarta ke depan membutuhkan pemimpin visioner serta mampu memberi solusi atas berbagai masalah fundamental yang dihadapi Jakarta. Terlebih Jakarta kini sudah diatur oleh UU No. 2 tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta yang mendesain Jakarta sebagai kota global.
Penulis: Achmad Fachrudin, Ketua Program Studi Komunikasi Universitas PTIQ Jakarta