Search

Rekonstruksi Budaya Politik

Presiden terpilih  tentu tak cukup bila hanya sekadar meneruskan budaya politik presiden yang akan digantikan. Eksplorasi budaya  politik itu dilakukan secara sadar dalam kebijaksanaan Prabowo-Gibran untuk menampakkan integritas terhadap tokoh kekuasaan sebelumnya. Kiblat mereka  terhadap budaya politik presiden terdahulu menjadi bagian integritas untuk mendapat dukungan rakyat. Kecintaan rakyat terhadap patron kekuasaan lama berpeluang mengembangkan mitos pengukuhan presiden terpilih.     

Secara tegas Prabowo-Gibran tidak terobsesi pada narasi perlawanan terhadap rezim kekuasaan Jokowi. Mereka tidak menganggap budaya politik presiden terdahulu mengalami pelapukan. Karena itu, mereka tak melakukan konfrontasi  budaya politik,  untuk membebaskan diri dari hegemoni rezim kekuasaan sebelumnya. Mereka tidak meruntuhkan rezim kekuasaan sebelumnya untuk menciptakan sebuah rezim baru. Mereka menghindari konfrontasi terhadap budaya politik kekuasaan lama. Langkah mereka boleh dikatakan  merupakan mitos pengukuhan. Karena itu, mereka menemukan dukungan massa dari rakyat yang  puas terhadap penguasa lama dan memperoleh kemenangan yang gemilang.    

Tak menutup kemungkinan  bahwa Prabowo-Gibran melakukan rekonstruksi budaya politik Jokowi.  Mereka  berpeluang menciptakan narasi besar kekuasaan dengan kesadaran untuk memperbaharui  budaya politik. Mereka tidak sekadar mengukuhkan mitos kekuasaan, tidak pula mencipta mitos pembebasan. 

Mereka   melihat kemungkinan-kemungkinan tatanan baru  yang berbeda dengan rezim sebelumnya. Program-program ini dicipta dengan sugesti terhadap massa pendukungnya untuk mengemas budaya politik yang diselaraskan dengan zaman. Mereka melakukan pembelaan terhadap nasib rakyat, bangkitnya sebuah budaya kekuasaan yang lebih demokratis, dan membuka kesejahteraan bagi rakyat. 

Selama ini Prabowo-Gibran menjadi bagian budaya politik presiden terdahulu, bahkan menciptakan mitos terhadapnya.  Tujuan tindakan ini dapat diduga:  berharap rakyat yang bersimpati terhadap presiden lama menjadi bagian massa pemilih mereka. Di samping itu, mereka juga memiliki massa pemilih tersendiri. Pertautan empati massa pendukung presiden lama dan massa pendukung calon presiden  dipersatukan filosofi manjing ajur ajer. Filosofi ini mengajarkan pada seorang untuk masuk, melebur dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, tanpa harus kehilangan prinsip dan jati dirinya.       

Konfrontasi budaya politik dihindari Prabowo-Gibran terhadap presiden yang akan digantikan.  Dengan bahasa lugas, mereka menahan gempuran  konfrontasi budaya politik calon presiden lain terhadap Jokowi. Calon presiden lain menyerang presiden terdahulu sebagai pemimpin yang tak memiliki kecintaan, tak melakukan  perlindungan terhadap warga negaranya, bahkan memunculkan gugatan tentang demokrasi. Prabowo-Gibran menolak sugesti bahwa presiden terdahulu dicitrakan sebagai penguasa yang mengukuhkan hegemoni kekuasaan untuk menindas rakyatnya sendiri.  

Rekonstruksi yang dilakukan  presiden terpilih menjadi peluang paling manis untuk menawarkan budaya politik yang lebih demokratis, yang tak semata-mata berpusat pada seorang patron. Presiden terpilih mesti menampakkan pembelaannya pada rakyat yang mencintai negerinya. Masih banyak rakyat memperoleh penghasilan yang rendah, tetapi berhadapan dengan harga tanah tinggi, tak terjangkau kemampuan ekonomi mereka, sementara rasa cinta terhadap tanah air begitu tinggi.  Presiden  terpilih mestinya menemukan cara untuk melakukan rekonstruksi budaya politik yang berpihak pada rakyat jelata. 

Kekuasaan seorang tokoh politik tidaklah kekal, selalu terbatas kurun waktu. Karena itu, kesadaran presiden terpilih untuk melakukan rekonstruksi budaya politik diperlukan untuk membebaskan rakyat dari janji-janji palsu yang ditebar dalam pemilu “serupa jala untuk menjaring ikan-ikan”.  Penguasa  dan wakil rakyat mesti  memperbaiki budaya politik mereka yang berbagi kekuasaan, dan rakyat selalu terperangkap mobilisasi massa. Rekonstruksi  budaya politik diperlukan untuk mengakhiri dusta yang terselubung dalam janji-janji kekuasaan.  Kepalsuan-kepalsuan di balik perilaku penguasa dan wakil rakyat perlu direkonstruksi untuk memperbaiki budaya politik. 

Rekontruksi budaya politik membangkitkan keberanian Prabowo-Gibran  untuk menyingkap segala perilaku tokoh yang menempatkan diri di pusat kekuasaan. Mereka melakukan pembelaan moral  terhadap rakyat. Mereka menyadari akan terjadinya krisis kekuasaan, yakni ketika ruang gerak rakyat sangat ditentukan penguasa. Inilah  hal yang ingin  dikonstruksi kembali seorang presiden. Kebangkitan  hati nurani, nilai, moral, bahkan kebenaran sangat dirindukan rakyat. Mereka menuntut para penguasa untuk bertindak dengan hati nurani, nilai, moral, dan kebenaran.  Presiden baru tidak mungkin semata-mata melakukan integritas budaya politik terhadap penguasa sebelumnya. Ia juga tidak mungkin secara utuh melakukan konfrontasi budaya politik dengan presiden yang akan digantikan. Ia menciptakan kontrol kekuasaan dengan rekonstruksi budaya politik yang memberi sugesti pada rakyat untuk menikmati perkembangan demokrasi selaras dengan pergeseran zaman.   

Presiden terpilih perlu membuka ruang kesadaran baru untuk memberikan kesejahteraan rakyat yang selama ini sangat mencintai negaranya.  Terdapat realitas getir kehidupan sehari-hari, yang tak terpikirkan para penguasa, dan romantisme rakyat yang sangat mencintai negerinya. Secara paradoks rakyat  mengekspresikan kesetiaan mereka  di tengah-tengah himpitan hidup dengan upah rendah dan harga-harga yang melambung tinggi. Otoritas kekuasaan   belum sepenuhnya memberikan ruang pembebasan bagi tekanan ekonomi rakyat. Presiden terpilih perlu menyadari bahwa integritas rakyat terhadap negara tetap tinggi sebagai penduduk yang mesti menjalani hidup dengan susah payah. Rakyat serupa ini perlu dukungan budaya politik baru agar memiliki ketangguhan untuk mengatasi kemiskinan mereka.    

Program presiden terpilih yang menyuarakan rekonstruksi budaya politik pada hakikatnya membuka tafsir baru, kemungkinan-kemungkinan yang dapat dijelajahi rakyat, yang selama ini dimobilisasi pusat kekuasaan. Presiden terpilih perlu menyingkap kedok simulakra para pejabat, agar tercipta bentuk-bentuk kebijakan baru. Orientasi kekuasaan yang selama ini diberikan pada penguasa mulai bergeser ke  arah obsesi pada rakyat yang memerlukan dinamika, produktivitas, kreativitas, dan kemungkinan-kemungkinan baru. Diharapkan  presiden terpilih melakukan upaya rekonstruksi kebenaran yang orisinal dan membebaskan diri dari kebenaran semu yang tampak di permukaan budaya politik kita.

Penulis S. Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.

advertisement