Dark
Light
Dark
Light
Top Banner

Cerpen ‘Doa untuk Randuse’

Cerpen ‘Doa untuk Randuse’

GERIMIS reda. Seekor capung hinggap di jendela. Di bawah jendela, Randuse berbaring di kasur tipis. Kasur yang kadang membuat bau apek menguap dan masuk menembus indera penciumannya. Sesekali ia batuk, dan berusaha memanggil Saiba, istrinya. Dengan langkah tergesa Saiba datang, dan duduk di samping suaminya.

Kemudian tangannya yang kuning langsat meraih segelas air yang sudah disiapkan di dekat Randuse. Saiba dengan pelan memberi Randuse minum. Randuse kembali batuk-batuk kecil. Demamnya semakin tinggi. Dua hari lalu ia sempat kontrol ke seorang dokter. Dokter bilang, ia demam dan pilek. Penyakit sederhana, pikir Randuse. Akan tetapi ia mesti berbaring sebab tubuhnya teramat lemas.

Pernah Saiba menganjurkan Randuse untuk memeriksakan kondisinya ke rumah sakit. Namun, Randuse menolak, sebab ia tak punya uang. Kartu BPJS belum mereka dapatkan, katanya sedang diurus RW. Saiba menurut saja.

"Ini cuma demam. Lusa juga pulih," ucap Randuse.
"Semoga Mas. Amin…" balas Saiba.

Sinar matahari mulai jatuh. Menerobos jendela, membuat sedikit silau di mata Randuse. Saiba berdiri dan menarik gorden sedikit agar bisa menghalau sinar yang tepat mengenai wajah suaminya itu. Lantas Saiba kembali duduk. Suasana hening sebentar, sebelum spiker musholla terdengar. Seorang marbot tengah mengumumkan sumbangan jamaah.

"Alhamdulillah, Bapak dan Ibu jama'ah sekalian. Hari ini kita dapat sumbangan sebesar dua juta rupiah dari Bapak Rusli. Mudah-mudahan bisnis konveksi beliau diberikan kelancaran. Mudah-mudahan anak beliau yang sedang mendaftar tes CPNS diberikan kelulusan. Amin. Selanjutnya sumbangan dari..."

Suara marbot itu cempreng. Randuse dan semua warga hafal betul itu suara Cak War, laki-laki kurus yang sudah lima tahun jadi marbot di musholla. Sebelum jadi marbot, Cak War sering mangkal di terminal. Randuse pernah baku hantam dengan Cak War. Hanya gara-gara hal sepele; rebutan penumpang. Pelipis Randuse robek, pipi Cak War lebam. Sampai beberapa orang melerai mereka. Masalah itu diselesaikan di rumah RW dengan menanda-tangani perjanjian damai.

Sementara Saiba masih termenung, suara spiker musholla masih saja terdengar. Entah kenapa Saiba mengingat Rusli. Ya, Rusli yang baru saja diumumkan menyumbang ke musholla. Sewaktu muda, Saiba pernah begitu dekat dengan Rusli. Bahkan Rusli pernah berniat melamar Saiba, tapi ditolak oleh Saiba. Saiba saat itu sudah terpikat oleh Randuse, laki-laki gondrong yang selalu bisa membuatnya tertawa, hanya gara-gara ia pernah membaca kalimat sakti: 'Jatuh cinta-lah pada laki-laki yang bisa membuatmu tertawa" dan itu ia temukan pada sosok Randuse. Sosok yang selalu bisa menyederhanakan setiap persoalan.

Randuse selalu punya cerita lucu yang membuat Saiba terpingkal dan melupakan masalahnya, juga melupakan mimpinya menjadi seorang dokter. Dengan mantap, Randuse melamarnya, tepat saat Saiba baru saja lulus SMA. Orangtua Saiba sebenarnya menentang, sebab pikir mereka Saiba mesti kuliah. Namun, cinta bisa lebih kuat dari apapun dan bisa meruntuhkan apa saja. Mereka pun menikah. Sejak menikah mereka hidup apa adanya. Sudah diatur yang kuasa, pikir Saiba. Ini memang sudah jalannya.

***

Tangan Randuse mengelus lutut Saiba.
"Ada apa, Mas?" tanya Saiba.
"Di tas coklat yang tergantung di pintu, aku ada uang sepuluh ribu. Besok, kalau marbot itu datang minta sumbangan, kamu kasih ya. Biar kita didoakan. Siapa tahu aku bisa sehat kalau didoakan orang banyak," ucap Randuse.

"Buat beli lauk nanti malam ada, Mas?" Saiba bertanya.
"Nanti petik daun bayam di belakang saja. Selama ini kita ke dokter dan aku tidak sembuh-sembuh. Aku yakin, kalau banyak orang mendoakan, penyakit ini akan segera pergi." Randuse mengakhiri ucapannya sambil mengangguk seolah memberi keyakinan kepada Saiba.

***

Di pagi yang bersih, pintu rumah terketuk. Saiba baru saja menyuapkan bubur beras sebagai sarapan Randuse. Ia lepas sejenak lantas membukakan pintu. Sudah ada Cak War berdiri di balik pintu, lengkap dengan bolpoin dan selembar kertas.

"Assalamualaikum, Bu. Tiang mau minta sumbangan. Ibu tahu kan musholla kita sedang diperluas. Lantai semennya akan diganti dengan keramik. Sedang dibuatkan pilar yang tinggi buat menaruh spiker agar warga yang jauh bisa mendengar adzan, bisa mendengar orang mengaji. Dan.."

Saiba memotong ucapan Cak War: "Iya, Pak, tahu kok. Kebetulan saya ada rezeki untuk disumbangkan," ucap Saiba sembari merogoh saku bajunya. Saiba mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan, kemudian memberikannya kepada Cak War. Cak War berusaha memberi senyum dan mencatat. Namun, Saiba berkata:

"Maaf, Pak. Apa bisa saya minta kembalian lima ribu? Buat beli sarapan, Pak." Tangan Cak War yang sedang mencatat terhenti. Cak War menatap Saiba. Ada raut tak senang di wajah Cak War. Sempat ia geleng-geleng dan mengambil uang lima ribuan sebagai kembalian Saiba.

"Ini, Bu, kembaliannya."
"Pak. Apakah bisa kita menitip doa?" Dengan malu-malu Saiba kembali bicara.
Cak War hanya mengangguk dan bersiap mencatat lagi.

"Sumbangan tadi dari suami saya. Kami minta didoakan supaya selalu diberikan kesehatan, dilancarkan rezeki kami, serta selalu diberikan kebahagiaan."

Raut kesal kini terlihat di wajah Cak War, tapi ia berusaha terus mencatat doa yang diucapkan Saiba.

"Hanya itu doa yang dipesan?"
"Hmmm... Begini saja, Pak. Ini saya tambah lima ribu lagi, tapi bisa kan minta satu doa lagi?" ucap Saiba masih dengan malu-malu. Cak War mengambil uang itu dan memperbaiki kembali catatannya.

"Begini, Pak. Saya minta didoakan juga supaya saya cepat diberi keturunan. Soalnya saya sudah berumah tangga hampir 16 tahun. Kami ingin ada keturunan, biar ada yang digendong, Pak." ucap Saiba.
"Sudah? Cuma itu?" tanya Cak War.
"Iya, Pak."

Cak War langsung keluar, meninggalkan rumah Saiba. Saiba masuk dan memberi tahu Randuse kalau uangnya sudah disumbangkan. Randuse berdoa semoga lekas diberi kesembuhan.

***

Cak War masuk ke rumah Pak Ridwan, seorang pebisnis sukses dan kaya raya. Kebetulan Pak Ridwan sedang duduk santai di teras depan rumahnya.
Cak War memberi tahu maksud kedatangannya. Pak Ridwan senyum semringah.

"Iya, iya. Saya sudah tahu kok kalau mushola sedang diperluas. Tapi maklum, saya sibuk sekali. Ini tadi subuh baru saja sampai di sini. Dua hari di Australia, sibuk ngurus bisnis onderdil. Nanti sore saya juga akan berangkat ke Jakarta. Pabrik kertas di sana harus disambangi. Tapi tenang saja, sudah saya siapkan kok sumbangannya."

Cak War bahagia. Kemudian Pak Ridwan memanggil pembantunya. Si pembantu jalan agak membungkuk.

"Tolong ambilkan amplop coklat di laci meja ruang kerja saya," ucap Pak Ridwan. Si pembantu mengangguk. Selang satu menit ia kembali dan menyerahkan amplop cokelat kepada tuannya.

"Ini. Diterima ya. Semoga dipergunakan dengan sebaiknya." Pak Ridwan menyerahkan amplop cokelat itu. Cak War menerima dengan senyum paling manis. Apalagi setelah ia tak sengaja melihat tulisan di belakang amplop: “Rp2.000.000”

"Mau didoakan apa, Pak?" tanya Cak War dengan sedikit membungkuk.
"Oh, gitu ya. Ya sudah, doakan tetap sehat saja," jawab Pak Ridwan. Cak War pun mencatat.
"Ada doa yang lain, Pak?" Pak Ridwan tertawa sebentar dan menjawab: "Diberi kesehatan saja sudah cukup."

"Maksud Tiang, bisnis Bapak yang di Australia kita doakan semoga terus lancar juga, ya?"
"Oh, boleh-boleh."
"Pabrik kertas Bapak juga ya, kita doakan semoga terus berkembang."
"Boleh-boleh."

Cak War terus mencatat. Setelah itu ia pamit. Ia mengucap salam dan mencium tangan Pak Ridwan, seperti seorang murid kepada gurunya. Saat bersalaman, Pak Ridwan berucap: "Nanti sore saya titipkan 500 lagi ya untuk tambahan sumbangannya."
"Baik Pak." ucap Cak War.

Saat hendak memakai sandalnya, ia menengok kembali ke Pak Ridwan. "Maaf Pak, anak Bapak, yang sedang kuliah di luar negeri, kita doakan juga ya, biar tetap sehat dan kuliahnya diberikan kelancaran."
Pak Ridwan geleng-geleng. "Iya, boleh-boleh."
Cak War kembali mencatat. Setelah itu ia benar-benar pamit.

 

***

Sore datang, gerimis baru saja reda. Suhu tubuh Randuse semakin meninggi. Saiba coba mengompres dengan air hangat.

"Panasnya semakin tinggi saja, Mas."
"Sabar, pasti sebentar lagi pulih. Sebentar lagi kita akan didoakan banyak orang. Pasti salah satu doa itu akan diijabah," jawab Randuse.
"Iya Mas. Mudah-mudahan," balas Saiba.

Tiba-tiba suara salam dari spiker musholla terdengar. Suara cempreng Cak War mulai berkumandang. Randuse meminta Saiba mematikan radio yang sedari tadi memutar lagu-lagu kenangan. Saiba beranjak, mematikan radio, dan kembali duduk di samping Randuse.

"Sumbangan pertama dari Bapak Ihan. Sebesar satu juta rupiah. Kita doakan semoga Bapak Ihan dan Istri yang sedang membangun usaha sablon diberikan kesehatan dan usahanya diberikan kelancaran, serta mertuanya yang sedang sakit diberikan kesembuhan. Amin…" Suara Cak War semakin cempreng saat mengucap amin.

Randuse dan Saiba diam. Telinga mereka fokus mendengar suara Cak War yang terus mengumumkan sumbangan.

"Selanjutnya ada sumbangan sebesar satu juta tiga ratus ribu dari Ibu Rahmah. Semoga Ibu Rahmah diberikan kesehatan. Semoga usaha ayam potongnya lancar, laris manis, di pasaran. Semoga usaha jahitnya juga semakin laris. Amin. Amin. Kita ulangi sekali lagi: semoga usaha ayam potong Ibu Rahmah semakin lancar, laris manis di pasaran. Semoga usaha jahitnya berkembang dan membuka cabang dimana-mana. Amin Jama'ah. Amin…"

"Amiiin.." Bibir Saiba komat-kamit.
"Kok lama sekali ya nama kita disebut?" tanya Randuse sambil menatap Saiba.
"Mungkin setelah ini, Mas." jawab Saiba lembut. Kembali Cak War mengumumkan nama penyumbang.

"Berikutnya, sumbangan dari Randuse. Sebesar lima ribu rupiah." Cak War diam sejenak dan kembali melanjutkan.
"Maaf, sebesar sepuluh ribu rupiah.” Cak War diam sejenak, lantas melanjutkan: “Selanjutnya dari Bapak Ridwan sebesar dua juta lima ratus ribu. Semoga Bapak Ridwan diberikan kesehatan. Semoga bisnisnya di Australia lancar jaya. Semoga..."

Randuse dan Saiba serempak heran. Mereka bengong dan saling pandang dengan wajah penuh tanya.

***

Majidi, Februari

Rifat Khan,
Lahir di Pancor, Lombok Timur, 24 April 1985. Menulis cerpen, puisi serta beberapa kali terlibat dalam pertunjukan teater. Cerpen-cerpennya terbit, antara lain, di Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Nova, Padang Ekspres, detik.com, dan basabasi.co. Aktif di beberapa komunitas, di antaranya Komunitas Rabu Langit.

Sastra Terkini