Dari waktu ke waktu
kita ialah pejalan
melewati tajam tikungan
curam lembah
tinggi bukit
butuh tenaga yang utuh
hati yang penuh
kalau ada yang memburu
ditikam berulang
ber anak-pinak lalu bertualang
dipendam dalam
justru timbul tenggelam
dalam baying
lalu hilang
dan hening datang
membentangkan kecemasan
"jangan membiarkan terlalu lama
kecemburuan antara
cangkir dengan bibir
antara kopi dan sepi
sebab tak ada apa-apa
barangkali kecurigaan
terbuat dari pertemuan
kopi dan gula
diseduh panasnya kenyataan"
dari waktu ke waktu
ada yang memburu
ditikam berulang
berpinak lalu tualang
dipendam dalam
timbul tenggelam
dalam baying
lalu hilang
: membiarkan bibirmu akrab dengan kopi,
aku cemburu
Dari Sunyi Jadi Bunyi
Sebuah harapan
antara bunyi dan sunyi,
antara nyala dan padam,
antara tangguh dan rapuh,
antara keramaian dan kesepian,
antara terang dan gelap
di sanalah bermukimnya lambaian tangan
dari setiap kepergian
waktu berjalan ke depan berderai menitik dan bakal jadi kenangan, dengan apa kita mengawetkan ingatan, perjalanan, kebahagiaan bahkan luka? Dengan puisi untuk memuliakan kehidupan
Jokpin bilang:
"Sunyi itu menjernihkan
Sunyi itu menerangi
Sunyi itu menyalakan kreativitas"
2024
Termenung Merenung
Percakapan malam yang menenangkan,
perbincangan sunyi
antara detak jarum jam dan dinding,
"wahai derit pintu
jangan pernah lagi cemburu
pada waktu --
pada angin yang menyusup
dari lubang jendela,
bahkan ia tak kan pernah
mengambil cerminmu"
dinding he-ning
jarum jam terus berdetak
"tik tak tik tak"
menyelinap pada malam
sembunyi kepada pagi
yang memanggil kokok ayam
sebentar lagi
2024
Tidak Cemburu
Aku tak pernah cemburu
pada angin yang mengurai rambutmu
juga pada hujan
yang membasuh tubuhmu
tapi
mengapa kau simpan curiga
pada akar menjalar
mencari makna
sekadar menunda
daun-daun gugur
dan ranting-ranting patah
di bawah matahari
dan jarum-jarum hujan
Hening Nyaring
Di sana nyaring di sini hening
di tengahnya hutan belantara
tempat orang-orang
menyusur labirin
mencari kedalaman makna
di sana bising di sini kening
di tengahnya sungai kering
sungai yang terbuat dari rasa asing
di sana mendidih di sini perih
di tengahnya tertusuk belati kata
di sana dingin di sini angin
di tengahnya gigil dermaga
jarak pandang terhalang kabut
katanya, sisa luka berkerut-kerut
mengatuplah mengatup
dari barat ke timur kita sebentuk umur
percayalah jarak itu hanya dalam peta
jika ada pada kita itu hanyalah
permainan perasaan belaka
ingatan menjelma sumur
tak habis-habis ditimba
di puncak malam tiba
kenangan mendengkur
dinina--bobokan keadaan
hujan di luar basah di dalam
aku terkepung dihanyutkan oleh sunyi
Bincang Sunyi
Kukatakan
pada sunyi
di sana hening
di sini kening
"aku tak pernah cemburu
pada angin yang mengurai rambutmu
juga pada hujan
yang membasuh tubuhmu"
tapi
"mengapa kau simpan curiga
pada akar menjalar
mencari makna
sekadar menunda
daun-daun gugur
dan ranting-ranting patah
di bawah matahari
dan jarum-jarum hujan
Pluviophile
Seseorang istirah
rebahlah segala lelah
berbaring memeluk hening
ia puasa demi puisi
mengaribi sepi di tubuh semesta
Seseorang berhenti berkata-kata
dan terus menanam renjana
disemaikannya benih tumbuh tunas
:rindang di kepala
hingga lupa cara meniadakannya
mungkin rindunya serupa hujan
jatuh luruh menjelma jarum-jarum tajam
-- menembus tanah
ia menghirup dalam-dalam aroma petrichor
dibiarkannya memenuhi dadanya
datanglah angin dingin
selalu membantu hujan menjahit sunyi menjadi puisi
barangkali ia menasbihkan diri menjadi Pluviophile
pecandu hujan
agar sempurna seluruh mantra merawat kenangan
Emi Suy,
Lahir di Magetan, menetap di Jakarta menulis puisi dan esai.
Buku Kumpulan Puisi: Tirakat Padam Api (2011), Alarm Sunyi (2017), Ayat Sunyi (2022), Ibu Menanak Nasi Hingga hingga Matang Usia Kami (2022).