Ya Allah Ampunilah Dosa Nenekku
Semburat fajar di petala langit Madinah merona indah ketika ribuan jemaah haji dari berbagai penjuru dunia memasuki pelataran Masjid Nabawi. Para jemaah terlihat mengenakan jubah putih. Begitu rapi, elegan dan anggun. Tak berlebihan bila penulis melihat mereka seperti barisan malaikat yang turun untuk memberkahi bumi Madinah.
Hari berganti, tibalah waktu Subuh di mana, keindahan cahaya fajar shadiq perlahan memudar, untuk kemudian berubah menjadi awan cerah berwarna putih bak kapas. Namun pendaran cahaya matahari pagi Madinah hari itu tetap indah.
Apalagi sinar ultravioletnya, mempercantik suasana saat ribuan jemaah haji dari berbagai penjuru dunia mulai mengantre, memasuki Raudhah. Tepatnya sesudah mereka keluar dari Masjid Nabawi untuk menjalankan salat Subuh berjamaah.
Sementara petugas PPIH 2024 Seksus Masjid Nabawi, Niswah Pradana dan Jaleelah, yang bertugas mengurusi Raudhah perempuan sudah sibuk mengatur pelaksanaan Raudhah bagi jemaah haji Indonesia.
Dalam kesempatan mulia itu, keduanya mengatur pelaksanaan Ziarah Raudhah di sekitar 5000 tasrekh bagi jemaah haji Indonesia. Karena banyaknya jemaah haji yang akan memasuk Raudhah, Erni Setyawati, Staf Kapolri BIdang SDM yang kebetulan Petuhas Haji yang menjaga pos di dekat Raudhah hari itu ikut membantu petugas Raudhah.
Sesudah pelaksanaan Raudhah, di mana 5000 antrean jemaah haji perempuan asal Indonesia telah terurai, tiba-tiba seorang laki-laki tua tergopoh-gopoh mendatangi petugas bersama dengan tiga orang lansia yang berjalan sambil dipapah dibelakangnya
“Maaf kami terlambat bisa tidak kami menyusulkan tiga lansia ini memasuki Raudhah?” pinta salah seorang petugas haji.
Erni menatap tiga orang lansia yang datang bersama petugas kloter yang berlakangan diketahui berasal dari embarkasi Solo. Adapun diantara jemaah haji lansia, yang dipapah tersebut yaitu nenek Siti Hunainah.
Dengan raut penuh simpati, Erni tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Dia kemudian menatap wajah nenek tersebut lekat-lekat. Sepintas wajahnya mirip seperti wajah mbah Muah, neneknya di tanah air yang sudah meninggal.
Erni mengusap-usap matanya tidak percaya. Yah, benar sepintas wajah nenek Siti ini mirip sekali dengan neneknya. Nenek yang begitu ia cintai dan ia rindukan kehadirannya selalu. Terkenang dipelupuk matanya, wajah mbah Muah yang selama ini tulus menyayanginya dan mecurahkan cintanya dengan kelembutan dan kesabaran. Bagi Erni mbah Muah seumpama mawar, maha karya Allah yang paling indah.
“Dia tidak bisa berjalan bu,” ucap petugas kloter menjelaskan seakan memahami apa yang ada di pikiran Erni.
“Kakinya habis dioperasi sehingga beliau masih belum bisa berjalan, “ ujar ketua kloter kepada Erni sambil menatap nenek Siti yang ada di belakang.
Erni menatap wajah nenek itu lekat, hatinya merasakan kebahagiaan menatap wajah nenek tersebut karena kerinduannya terhadap neneknya sendiri di Indonesia. Memang belakangan ia sangat merindukan sang nenek yang sudah meninggal dunia tetsebut. Hati Erni seperti hampa, sesudah kasih sayang ibunya. Kasih sayang mbah Muah lah yang menjadi cinta dan kebahagiaanya.
Di usianya yang senja, dengan tulang lemah dan kulit keriput, dengan tenaganya yang tidak kuat lagi mbah Muah ‘berjuang’ mengabdikan kasih sayang di hari-hari terakhir dalam hidupnya.
“Mbah Muah, aku seperti melihatmu di Madinah. Apakah ini mbah?” ucap Erni lirih sambil matanya terus manatap nenek Siti.
Menyadari mata Erni menatapnya, beliau tersenyum lembut. Matanya begitu menyejukkan. Di sampingnya seorang perempuan terus memapah tubuhnya yang ringkih, sementara tangan kanannya memegang kursi lipat yang ia biasa bawa kemana-mana untuk duduk.
Ketika Erni tengah asyik memandang wajah nenek itu, tiba-tiba suara petugas Rakeen (masyariq yang mengelola Raudhah) terdengar mengagetkan Erni dan semua petugas Raudhah yang mengerumuni tiga lansia yang terlambat hadir memasuki Raudhah.
“Ya Allah ya Andunisi….Ya Allah hus. Hayu jemaah Indonesia cepat masuk!," kata Rakeen.
Erni, petugas keloter dan para petugas Raudhah, Niswah Pradana dan Jaleelah langsung sigap ketika mendengar teriakan petugas Rakeen.
Namun mereka bingung sebab nenek Siti tidak bisa berjalan menuju Raudhah, kakinya baru saja dioperasi. Sementara hari itu kursi dorong yang biasa disiapkan Seksus Masjid Nabawi untuk melayani Raudhah lansia sudah habis.
Menyadari tidak ada kursi dorong sementara nenek Siti juga tidak mungkin dipapah menuju Raudhah, Erni lalu membungkukkan badannya. Dia menggendong nenek Siti hingga ke dalam Ruadhah.
“Nek Siti boleh memegang pundaku. Aku akan menggendong nenek memasuki Raudhah,” ujar Erni sambil membungkukan badannya.
Sementara pikirannya masih berkelana membayangkan mbah Muah. Saat itu bersamanya ingin berziarah ke pusara suci Baginda Nabi Muhammad SAW.
Nenek Siti menatap Erni dengan tatapan haru. Aura kebahagiaan menyelimuti wajahnya. Hatinya basah seperti disirami kasih sayang cucunya. Keinginan Erni menggendong dirinya karena tidak mampu berjalan membuatnya menitikkan air mata.
Allah menyayanginya. Akhirnya ia bisa berziarah ke makbaroh Rasulullah. Ia sempat berpikir, tanpa adanya kursi dorong ia tidak akan bisa memasuki Raudhah. Namun, Allah mengirimkan Srikandi Raudhah untuk membantu dirinya.
Tangan lemah itu kemudian berusaha memegang pundak Erni kuat. Tanpa ia sadari matanya berkaca-kaca. Merasakan anugerah Allah tiada terkira yang harus ia syukuri.
Sepanjang digendong Erni, Nenek Siti memanjatkan doa di hadapan Allah atas kebaikan petugas haji Indonesia Seksus Masjdi Nabawi sambil. Air mata nenek Siti juga terlihat terus berjatuhan. Sementara Erni yang merasa seperti menggendong neneknya, terus berlari khawatir Nenek Siti tidak bisa bergabung dengan jamaah haji Indonesia lainnya di Raudhah.
Sesampai di bab al-Nisa, sebelum memasuki Raudhah, perlahan Erni menurunkan nenek Siti dari gendongannya. Dia kembali menatap nenek Siti sambil membungkukkan badannya.
Mata nenek itu terlihat basah. Tergenang air mata. Sekali lagi wajah nenek Siti membuat kelopak mata Erni basah merasakan keharuan dan kebahagiaan telah mengantarkan nenek Siti ke Raudhah. Nenek yang menurutnya mirip dengan almarhumah mbah Muah, neneknya di Indonesia.
“Terimakasih, nak! tanpa bantuanmu, mungkin nenek tidak bisa memasuki Raudhah sampai nenek pulang ke Indonesia,” ucap nenek itu dengan bibir gemetar menahan tangis haru.
Berziarah ke makam baginda Rasulullah SAW merupakan mimpi bagi semua jemaah haji dari berbagai penjuru dunia ketika mereka berkunjung ke Madinah, tak terkecuali dengan nenek Siti.
Setiap waktu pagi siang dan malam hari Masjid Nabawi selalu basah oleh air mata hamba-hamba Allah yang merindukan Rasul-Nya seperti dalam syair yang disenandungkan Maher Zein, Roqqot Ainayya Shawqan, wa li thaibata tharafat Ishqan faataytu ila habibi.
Muhamad Rasulullah Sang Manusia Agung yang apabila namanya disebut kerinduan tiba-tiba memenuhi rongga hati umatnya. Mata-mata umatnya basah karena cinta dan kerinduan kepadanya. Muhamad Rasulullah yang digambarkan oleh al-Qur’an setiap tindak tanduknya merupakan teladan bagi semesta.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
Nenek Siti tak bisa bayangkan betapa sedih dan pedihnya hatinya andai ia meninggalkan kota suci Madinah ini tanpa berziarah ke makam Rasulullah. Ia pasti akan menyesal seumur hidupnya. Berhaji tanpa berziarah ke makam Baginda Muhammad SAW.
“Sama-sama, nek! doakan aku dan almarhum Neneku di Raudhah nanti,” ucap Erni sambil menatap wajah nenek itu yang kini berurai air mata.
Ia memeluk nenek Siti dan memandang lekat-lekat wajahnya untuk kemudian ia pergi meninggalkan nenek itu di Raudhah. Teringat olehnya wajah mbah Muah yang puluhan tahun lalu meninggalkannya selama-lamanya. Mbah Muah yang dalam hidupnya seperti berusaha memindahkan surga ke bumi demi untuk membahagiakan cucu-cucunya termasuk dirinya.
Dia lalu menyeka air matanya. Kerinduannya pada mbah Muah tiba-tiba membuncah melebihi hari-hari sebelumnya. Teringat setiap pelukan, belaian kata-kata bijak, perhatian dan kasih sayang neneknya yang selama ini ia rasakan dalam hidupnya.
Erni masih ingat bagaimana mbah Muah yang kala itu usianya hampir menginjak 89 tahun setiap hari terjaga untuk menengok kamarnya dan anak semata wayangnya; Beby Queshia.
Dengan kaki lemah Mbah Muah setiap malam menengoknya ke kamar, menyelimutinya dan anaknya sambil mengelus-elus mereka dan mencium kening mereka lembut sambil mendaraskan doa kepada sang Maha Kuasa, “
Semoga Gusti Allah sing Maha Kuasa menjagamu dan anakmu, nduk!” ucapnya lirih setiap mencium kening Erni dan Beby Queshia.
Erni teringat setiap ia menangis mbah Muah senantiasa mempunyai waktu untuk Erni curhat dan berkeluh kesah dan selalu menyiapkan makanan-makanan yang Erni dan Beby Queshia suka.
Mbah Muah memberikan segalanya untuk Erni sehingga Erni dan anaknya selalu merasa istimewa.
Erni tiba-tiba membayangkan dirinya membawa neneknya, mbah Muah menunaikan ibadah haji sebelum ia berpulang ke rahmatullah menutup mata selama-lamanya. Menemani neneknya melaksanakan thawaf di Masjidil Haram dan sai antara bukit Shafa dan Marwah.
Mendampingi mbah Muah melaksanakan wukuf di Arafah. Mabit di Muzdalifah dan Mina serta melempar Jamarot. Erni membayangkan ia memotong rambut neneknya untuk tahalul dan kemudian melaksanakan thawaf ifadah dan wada’.
Ia tiba-tiba ingin menuntun tangan neneknya menziarahi Madinah, kota yang sangat dicintai oleh Rasulullah dan mendampingi neneknya ke Raudhah seperti hari ini ia mendampingi Nenek Siti memasuki Raudhah di Masjid Nabawi, Madinah.
Semua keinginan dan kerinduan itu membuat Erni menangis sejadi-jadinya. Ia menangis sambil berdoa kepada Allah, “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa nenekku. Terimalah amal kebaikan beliau ya Allah. Kumpulkan beliau bersama orang-orang saleh, para syuhada dan kekasihMu di SurgaMu ya Robbi.”
Erni terus berjalan pelan wajah neneknya yang telah tiada terus terbayang dipelupuk matanya. Ia menengok kembali ke arah raudhah dan mendaraskan doa, “Ya Allah Ampunilah dosa-dosa Nenekku Ya Allah! Ampuni segala salah dan khilaf, Mbah Muah. Ampuni aku yang tidak punya waktu dan kesempatan untuk menemani mbahku menunaikan ibadah haji di tanah suci-Mu,” ucapnya sambil menangis pilu dan kedua matanya lekat menatap pintu menuju Raudhah –as-Syarief.
Penulis: Mujahidin Nur, Ketua Departemen Luar Negeri dan Hubungan Antar Lembaga BKM (Badan Kesejahteraan Masjid) dan Direktur Peace Literacy Institute Indonesia.